Diagram Golongan Kiri & Golongan Kanan
Left - Right Political Spectrum

Geneaology teori politik ialah suatu garis pertumbuhan/perkembangan dari sebuah teori-teori yang ada (KBBI, 2002).

Hal itu berarti merujuk pada zaman teori-teori klasik, zaman kegelapan (dark age),rennaisance, hingga pada teori politik modern. Berawal pada zaman yunani kuno yang dimana tokoh saat itu adalah Socrates, Plato, dan Aristotle. Mereka telah memunculkan tentang ide-ide mengenai tata pemerintahan dan apakah arti dari sebuah kekuasaan. Kata politik berawal dari bahasa Yunani yaitu polis, mulanya untuk menyebut akropolis atau benteng tinggi. Istilah polis kemudian berkembang dan berarti negara, kota, atau negara-kota.

Sebenarnya Istilah dari “spektrum politik” Kanan-Kiri merupakan salah satu cara untuk memetakan gagasan dan keyakinan politik, meringkas posisi ideologi para politisi, partai, dan gerakan politik. Asal-usul penggolongan tersebut dapat dilacak pada masa Revolusi Prancis dan posisi kelompok-kelompok yang mengikuti pertemuan pertama French Estates-General pada tahun 1789. Akan tetapi, istilah kanan dan kiri itu sesungguhnya tidak mempunyai arti yang eksak. Dalam arti sempit, spektrum politik linier meringkas sikap yang berbeda terhadap ekonomi dan peran negara: sayap-kiri berpandangan mendukung intervensi negara dan kolektivisme, sayap-kanan lebih mendukung pasar dan individualisme.

Perkenalan Dengan Kanan dan Kiri by RM D Hadinoto
Dalam ilmu politik, kekuatan kiri, adalah kekuatan yang secara traditional berpihak pada rakyat, dan kaum yang termaginalkan. Buruh dan tani. Sayangnya, gerakan komunis international "merebut" sebutan kiri bagi mereka, karena mereka menamakan diri partai dari kaum proletar (kaum tak bermilik).

Selanjutnya seiring perkembangan kontemporer, yang disebut Kiri adalah partai-partai demokrat, misalnya partai buruh di Inggris, partai sosial demokrat di Jerman dan Austria serta Swedia, yang terhitung partai kiri. Hanya untuk membedakan diri dari gerakan komunis yang juga menamakan diri "kiri", mereka menamakan diri "kiri-tengah" atau"demokrat-kiri".
 
Sebaliknya "kanan" adalah tradisonal sebutan bagi para petani pemilik tanah (dan tuan tanah serta bangsawan), keluarga raja dan penguasa, gereja katholik. Mereka adalah kelompok yang ingin mempertahankan tradisi dan kekuatan yang ada. Konservatif. Mereka selalu melawan pembaharuan. Menghadang pemberian hak2 demokratis bagi rakyat (misalnya hak memilih), dsb.

Setelah revolusi Perancis, mereka adalah kekuatan yang ingin mempertahankan kapital dan kekuasaan atas tanah. 
.

Asal muasal sebutan ini, adalah karena kekuatan yang pro raja, dan kekuatan  konservatif duduk di  sebelah kanan ketua parlemen, juga biasanya takhta bagi raja  yang menghadiri rapat parlemen (DPR). Dan kiri, sebaliknya mereka dduduk disebelah  kiri dari pimpinan.

Dijabarkan dalam politik dunia, Bush dan partai republik adalah kanan. Juga partai konservatif dibawah Thathcer. Kekuatan brutal yang membunuhi rakyat di Chile dibawah jendral Pinochet, juga kanan. Juga kaum agamawan di-mana2 yang menghadang pembaharuan, mempertahankan kekuasaan kaum elit agama, seperti di Iran, adalah kanan.

Partai ultra kanan, adalah partai atau gerakan, yang mengedepankan kepentingan pribumi dan membenci dan ingin memusnahkan semua wargaketurunan asing (pendatang), misalnya partainya Le Pen di Perancis atau NDP di Jerman.Mereka mengikuti ideologi Hitler. mereka ada di Italia, Spanyol, Belgia dan juga Belanda.

Kiri (setelah rubuhnya negara2 komunis) adalah partai2 yang selalu ingin mengadakan pembaharuan, baik untuk memperluas hak2 rakyat kecil, ataupun perlindungan alam.  Mereka terutama diwakili oleh partai sosial demokrat (di Jerman, Swedia, Austria, Spanyol, Inggris), dan partai2 hijau (the Greens).

Pak Harto dan rezimnya, adalah jelas2 kanan. Juga ciri2 khasnya yakni keberpihakan pada kaum modal, pimpinan tentara dan pemilik tanah serta perusahaan2 besar (MNC).
---------------------------------------------------------------------------------------

Apa Artinya menurut Islam ?
Bukan hal yang aneh, banyak pemuda bangsa ini mengenakan kaos bergambar Che Guevara. Mereka menganggap diri mereka “orang kiri”. Tokoh revolusi Kuba tersebut dianggap mewakili akan gerakan perlawanan mereka terhadap ketidakadilan. Kiri, memang identik dengan gerakan perlawan terhadap ketidakadilan pihak penguasa, melawan gelombang kapitalisme. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun di sebut kiri sebagai gerakan baru dalam membela kepentingan rakyat. Hasan Hanafi bahkan menulis karya terkenalnya, Islam Kiri. Karya yang identik dengan semangat perlawanan dan sikap kritis. Wajar jika gerakan kiri ini menjadi gerakan yang tumbuh subur di kalangan pemuda. Termasuk pemuda Islam.

Sejatinya penyebutan kiri ini berawal dari pembedaan kelompok di Majelis Nasional Perancis 1789, pada masa awal revolusi Perancis. Wakil yang mendukung perubahan radikal menuju tatanan sosial yang lebih setara berada di sayap sebelah kiri ruangan. Sedangkan yang membela status quo tradisional berada di sayap sebelah kanan ruangan. Sedangkan deputi perancis yang mendukung perubahan moderat duduk di tengah ruangan. Pembagian atau pembedaan ini terus berlanjut menempel pada gerakan-gerakan yang radikal atau progresif, termasuk gerakan marxis.
Ternyata bukan pengertian dalam politik saja yang membagi antara kiri dan kanan. Islam memiliki juga pembedaan golongan kiri dan kanan.

Dalam surat Al Balad ayat 10 – 20 dijelaskan pembagian golongan kiri dan kanan menurut Islam. 
” Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (90:10-11)
Allah telah memberikan pilhan pada manusia untuk menempuh sebuah jalan dalam hidup ini. Yang mudah dan yang sulit. 
“ Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, atau (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang tertanah. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (90 : 12-18) 

Begitulah menurut Islam orang pada golongan kanan. Menghapuskan perbudakan, saling membantu sesama manusia, menasehati, dan menghilangkan kesenjangan dalam hidup ini. Adapun disebutkan termasuk orang golongan kiri adalah,
“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (90 : 19-20) 
Jelaslah dalam Islam orang-orang kiri dan kanan tidak sama pengertiannya dengan pengertian politik yang berasal dari eropa. Jika kita memang mengaku muslim, pastilah kita akan memilih jalan yang kanan. Jalan yang memang tidak mudah, menolong orang lain, menghapuskan perbudakan, menghapuskan kesenjangan ekonomi dan saling menasehati untuk berkasih sayang dan bersabar. Jalan yang memberi makan orang miskin yang tertanah.

Kiri Katanya? by Tatang Sinaga
(Sebuah Goresan Pemikiran)


            Istilah kiri mungkin tidak memiliki defenisi yang begitu jauh dalam pandangan secara umum. Kiri secara umum diartikan sebuah sisi yang berseberangan dengan kanan. Namun dalam istilah politik, kiri memiliki arti yang sangat mendalam dan kompeks. Istilah kiri sering diidentikan sebagai sebuah paham/ ideologi yang berhubungan dengan sosialisme ataupun komunimse. Jadi tidak heran apabila orang- orang yang menganut paham tersebut biasa disebut sebagai orang kiri. Sedangkan orang- orang yang tidak sepaham dengan ideologi tersebut di golongkan kedalam kelompok kanan. Kelompok kanan menitikberatkan liberalisme sebagai dasar pemahamannya. Dalam tatanan ideologi politik, kelompok kanan dan kelompok kiri selalu mengalami kontradiksi pemahaman satu sama lainnya. Sebagai contohnya, dalam tatanan perang dingin kelompok yang termasuk dalam kelompok kiri adalah negara- negara yang tergabung dalam blok timur yang di motori oleh Uni Soviet. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kanan adalah negara- negara yang tergabung dalam blok barat dengan Amerika Serikat sebagai motor penggeraknya.

            Namun pada hakikatnya, istilah kiri dalam politik tidak serta merta ada begitu saja, melainkan mengalami perjalanan yang panjang. Menurut beberapa literatur yang pernah saya baca, istilah kiri dalam politik bermula dari peristiwa pengaturan tempat duduk di ruangan anggota legislatif  pada masa revolusi prancis. Mereka yang mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintahan monarki prancis pada saat itu duduk berkumpul di bagian kanan ruangan. Sedangkan mereka yang melakukan penolakan kebijakan pada saat itu duduk berkumpul di kiri ruangan. Selebihnya mereka yang bisa dikatakan tidak mempunyai pilihan yang pasti memilih untuk duduk berkumpul di tengah ruangan. Kelompok terakhir inilah yang kemudian di juluki sebagai kelompok moderat. Jadi atas dasar pengaturan tempat duduk inilah kemudian muncul istilah kelompok kiri, kelompok tengah dan kelompok kanan. Namun dalam perkembangannya, istilah kiri dan kanan dalam politik tidak lagi hanya sebatas permasalahan yang disebutkan diatas melainkan sudah mengacu pada hal- hal yang lebih komplek, misalnya pada tatanan ideologi- ideologi politik.

            Dalam perkembangan nya istilah kiri cenderung di kaitkan terhadap marxisme. Marxisme dinilai mampu mewakili defenisi kiri karena teorinya mengenai perjuangan kelas proletar. Gambaran umum marxisme menjelaskan bahwa kaum yang termarjinalkan (yang disebut sebagai proletar/buruh, petani kecil, rakyat jelata) tidak semestinya mengalami penderitaan. Akan tetapi penderitaan yang dialami kaum proletar tersebut adalah akibat dari ketamakan beberapa orang yang memiliki modal untuk mensejahterahkan hidupnya sendiri (marxisme menyebutnya sebagai kaum borjuis). Faktor yang menetukan nasib kedua kelas sosial masyarakat tersebut adalah kepemilikan terhadap alat produksi. Mereka yang memiliki modal (kapital) mempunyai kemampuan untuk memiliki alat produksi yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai modal tidak dapat memiliki alat produksi dan hanya dapat menjadi pekerja yang bermodalkan tenaga fisik mereka saja. Penderitaan mereka tidak hanya pada hal itu saja, melainkan juga perlakukan yang tidak manusiawi dari pemilik modal yang memberi upah murah dan jam kerja yang sangat tinggi. Penindasan yang dialami kaum proletar tidak hanya meliputi penindasan secara fisik melainkan juga penindasan secara psikis, dimana kaum proletar teralienasi dari lingkungan sosialnya. Sehingga jalan yang ditawarkan marxisme untuk melepaskan kaum proletar dari penindasan tersebut adalah dengan cara melakukan perlawanan terhadap pemilik modal yang di istilahkan sebagai revolusi sosial.

            Namun dalam pemahaman yang lebih modern seperti sekarang ini pengertian kiri mengalami perkembangan yang semakin luas. Jika pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa kiri cenderung terhadap marxisme/komunisme yang cenderung anti terhadap agama, justru sekarang pengertian kiri tidak hanya terjebak kedalam hal- hal tersebut semata. Sebagai contoh, istilah kiri sekarang sangat populer digunakan terhadap orang- orang yang menolak kapitalisme ataupun hegemoni ekonomi seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat. Tak heran apabila orang-orang yang menolak politik luar negeri amerika seperti misalnya Fidel Castro, Hugo Chavez, Erick Morales, Ahmaddinejad, ataupun Lula (mantan presiden brazil) dikatakan sebagai orang- orang kiri. Ini berkaitan terhadap sikap mereka terhadap penolakan atas hegemoni ekonomi yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat terhadap dunia global.

            Di indonesia sendiri, istilah kelompok kiri merupakan suatu istilah yang tentunya tidak asing lagi. Tak bisa dipungkiri bahwa kemerdekaan negara ini di pelopori oleh orang- orang kiri. Soekarno, Hatta, Syahrir misalnya, adalah founding fathers bangsa ini yang notabene adalah orang- orang kiri. Sikap mereka yang anti penjajahan dan jiwa sosial mereka yang tinggi yang membuat meraka di katakan kiri. Namun pasca pertengahan tahun 1965 yang juga masa berakhirnya orde lama, istilah kiri mulai di negatafisasi terhadap hal- hal yang berbau kekerasan dan kejahatan yang dihubung-hubungkan terhadap gerakan satu oktober. Hal inilah yang kemudian menghembuskan citra orang kiri sebagai orang yang hanya mempunyai jiwa pemberontakan dan tidak mempunyai aturan. Singkatya istilah kiri mulai dikreditkan terhadap hal- hal yang berbau negatif semata.

            Namun dalam pemahaman saya, istilah kiri tidak hanya terpenjara terhadap dogma- dogma pemikiran tertentu saja. Kiri merupakan sebuah peikiran dan sikap yang diambil seseorang ataupun sekelompok orang untuk anti terhadap penindasan baik itu penindasan berupa sistem maupun penjajahan dalam bentuk fisik. Bagaimanupun juga orang- orang yang melawan terhadap tindak- tanduk penindasan dapat dikatakan sebagai orang- orang kiri karena mereka idak menginginkan adanya penguasaan orang terhadap yang lainnya. Orang- orang kiri tidak berfikir secara reaksioner yang hanya spontanitas terhadap sebab akibat suatu permasalahan melainkan berpikir dan bertindak secara terorganisir melakukan perlawanan yang bersifat radikal demi sebuah perubahan keadaan sosial yang lebih baik.

            Namun dalam kehidupan sekarang ini kita banyak menemui mereka yang tiba- tiba mengaku kiri tanpa mengetahui esensi kiri iu apa. Ada lagi mereka yang hanya berpikir kiri tapi tidak mampu bertindak untuk merepresentasikan pemikirannya tersebut. Atau mereka yang bertindak secara reaksioner tanpa mempunyai radikalisasi pemikiran dan tindakan. Hal ini lah yang kemudian menumbuhkan kiri- kiri gadungan dalam kehidupan sosial.

Memahami Nasionalisme Kiri


“Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki perobahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang. Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme.”—Soekarno dalam Cindy Adams (1966:100)

Istilah “kiri” seringkali diidentikkan dengan komunisme. Padahal dilihat dari sejarahnya, istilah itu sudah muncul beberapa dekade sebelum Karl Marx hidup (1818-1883), tepatnya saat hingar-bingar Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, di masa sekitar Raja Louis XVI dipancung guillotine pada 1792.
Kala itu semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi daya tarik massa revolusioner, kaum buruh dan tani, untuk bersama-sama kaum borjuis meruntuhkan pemerintah feodalistis.

Tapi setelah kaum borjuis berhasil mengambil alih kekuasaan, rakyat jelata tidak memperoleh kekuasaan apa-apa. Feodalisme diganti oleh borjuisme, yakni kekuasaan politik yang didominasi kepentingan segelintir lapisan atas-ekonomi. Rakyat hanya memperoleh kebebasan, sedangkan persamaan dan persaudaraan cuma menjadi slogan.
Dalam kondisi itu, ternyata masih ada sekumpulan orang di parlemen yang menentang borjuisme. Mereka duduk mengelompok di sayap kiri ruangan. Karena itu, mereka disebut “kaum kiri”. Mereka berhadapan dengan para pendukung borjuisme yang menggerombol di sebelah kanan. Sejak itu “kiri” dan “kanan” menjadi kosa kata politik.

“Kaum kiri” berpendapat bahwa meski rakyat diberi hak dalam pemilihan, tetapi kaum buruh, petani, dan si miskin lainnya senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan parlemen. Aspirasi mereka terkepung pengaruh pikiran borjuis yang berkembang di masyarakat, dan terlebih lagi mereka kekurangan alat-alat propaganda (ruangan rapat, koran, dan brosur semuanya mahal).

Artinya, hak politik kaum miskin untuk dipilih atau memiliki wakil di parlemen menjadi tersumbat oleh “demokrasi borjuisme”. Kondisi ini mendorong kekacauan di Perancis sehingga memicu lahirnya kediktatoran Napoleon Bonaparte.

Jika dihitung sejak diterbitkannya buku “Manifesto Komunis” karya Marx dan Engels, gerakan marxisme dan komunisme baru dimulai tahun 1848. Setelah Karl Marx meninggal, sosialisme yang bersumber dari pemikiran Marx tapi di luar komunisme berkembang luas hingga mencapai tak kurang puluhan aliran. Adapun kaum marxis ortodoks atau komunis memperjuangkannya melalui Revolusi Oktober 1917.
Jadi, secara historis, prinsip “kiri” berarti perlawanan terhadap borjuisme, baik oleh kaum marxis dan komunis maupun bukan.

Anti Borjuisme
Selain menjadi sejarah kedaulatan rakyat, Revolusi Perancis juga dianggap sebagai tonggak bagi nasionalisme modern. Meskipun loyalitas terhadap bangsa sudah ada sebelumnya, tapi sejak Revolusi Perancis bangsa dan rakyat menjadi unit yang terpenting, sehingga nasionalisme menolak gagasan tradisional yang “disucikan” oleh agama tentang klaim-klaim dinasti kerajaan untuk memerintah atas suatu wilayah.

Nasionalisme yang dikaitkan dengan prinsip “kiri” itu menjadi bagian dari pemikiran para pendiri bangsa Indonesia dengan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai tokohnya. Meski terdapat sejumlah perbedaan pemikiran di antara keduanya, tapi mereka memiliki titik temu pada penolakan terhadap borjuisme dan mendorong tercapainya keadilan sosial sebagai hal fundamental.

Soekarno maupun Hatta mengakui hak milik pribadi atas alat produksi, sepanjang hak milik pribadi yang dimiliki suatu golongan tidak memarginalkan, menindas atau menghisap golongan lain. Orang dapat saja menjadi kaya sepanjang kekayaannya tidak membuat orang lain menjadi miskin.

Jika dilihat dari sejarah hidupnya, Soekarno dan Hatta juga tidak serta merta mencurigai orang kaya dan segala sesuatu yang mewah. Soekarno bersahabat dengan konglomerat seperti Markam dan Dasaat (kedekatan ini tentu berbeda dengan hubungan Soeharto dan para konglomeratnya karena Soekarno tidak pernah bertujuan menumpuk kekayaan). Hatta juga tidak mungkin bersekolah di Belanda jika tidak dibiayai oleh paman angkatnya, seorang saudagar besar Minang.

Namun mereka belajar dari kesalahan Revolusi Perancis untuk membangun Indonesia yang bersatu dan merdeka. Pada koran Fikiran Ra’jat tahun 1932 Soekarno menyatakan, “Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak burdjuisme jang mendjadi sebabnja kepintjangan masjarakat itu.”

Adapun Hatta menyebutkan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan tidak ada.” (”Lampau dan Datang”, pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa  di Universitas Gadjah Mada, 1956)

Kemerdekaan yang mereka cita-citakan merupakan kemerdekaan bangsa sekaligus kemerdekaan rakyat dari marginalisasi dan eksploitasi. Kemerdekaan mencakup baik bentuk maupun isi, sebagai usaha bersama merombak struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya berupa alam subur dan kaya, sehingga dapat tercapai persamaan dan menumbuhkan persaudaraan sesama anak bangsa.

Untuk itu Soekarno menggagas marhaenisme. Titik tolak marhaenisme adalah sosio-nasionalisme, yakni nasionalisme yang dikaitkan dengan perikemanusiaan, dimaksudkan untuk menghindari penindasan antar bangsa dan penindasan di dalam bangsa. Sosio-nasionalisme tersebut mendorong sosio-demokrasi, yakni demokratisasi yang berkaitan dengan usaha penegakan keadilan sosial, atau disebut Mohammad Hatta sebagai demokrasi sosial.
Marhaenisme dimaksud sebagai cara perjuangan kaum nasionalis untuk membebaskan rakyat kecil dari sistem yang menindasnya. Soekarno mensyaratkan kaum marhaenis, yakni mereka yang mengorganisir kaum marhaen dan bersama-sama berjuang dengan tenaga massa marhaen.

Cita-Cita Pembebasan
Ide pembebasan nasionalisme kiri menjadi cita-cita Proklamasi 1945 yang secara eksplisit menyatakan kehidupan kebangsaan yang bebas sebagai tujuan kemerdekaan. Alinea ke 3 Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kehidupan kebangsaan yang bebas adalah pembebasan dari kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan ketidakadilan dengan cara: “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” (Alinea ke 4).
Cita-cita tersebut menjadi titik tolak membangun Indonesia merdeka. Namun akibat tidak dibangun politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya, negeri ini terus terjerat sebagai sumber eksploitasi kekayaan alam, rakyatnya dijadikan sumber tenaga murah, dan target pasar.
Indonesia membiarkan diri terhanyut irama reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens (1999), global pillage (penjarahan global) ketimbang global village (desa global).
Kebebasan yang diraih di era reformasi baru menghasilkan ”ritualitas demokrasi” yang memberi ruang kepada rakyat menyalurkan partisipasinya melalui Pemilu, Pemilihan Presiden-Wakil Presiden, dan Pilkada secara berkala. Adapun bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat tersumbat marginalisasi dan eksploitasi. Persamaan dan persaudaraan tidak terlihat ketika mayoritas rakyat masih menjadi petani gurem, nelayan miskin, pedagang kecil, buruh melarat, serta profesi serba terbatas lainnya.
Pengertian “nasionalisme kiri”  juga mengalami kendala semantik karena istilah “kiri” mengandung bias di masyarakat. Mungkin di telinga masyarakat lebih pas istilah “nasionalisme kerakyatan”. Hanya saja karena beberapa puluh tahun terakhir ini “nasionalisme kerakyatan” menjadi slogan kosong, maka perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud harus berdasarkan cita-cita Soekarno dan Hatta yang mendambakan keadilan sosial dalam membangun kehidupan berbangsa.

Retor AW Kaligis, Doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI)
Catatan: Artikel ini ditulis bahan diskusi dalam acara Bedah Buku ‘Bung Karno: Nasionalisme, Demokrasi, dan Revolusi’ di kantor KPP-PRD, Minggu (18/8/2013)